Aku dan (Mantan) Sahabatku
Baru ku sadari, bahwa jodoh tak hanya dalam mencari pasangan
hidup, namun juga dalam mencari sahabat. Walau bukan berasal dari
keluarga kaya raya dan mewah, keluargaku dapat dibilang cukup mapan, tak
pernah ku bedakan dengan siapa aku berkawan. Bukan dari rupanya, bukan
dari hartanya, pun bukan dari asal-usul keluarganya.
Bertahun-tahun aku memupuk jalinan persahabatan dengan kawanku, sebut
saja Nadia. Seseorang yang kutemui pada awal perkuliahan, hingga
terjalin persahabatan 6 tahun lamanya, kini kami telah lulus dan
bekerja.
Sahabat baik, sahabat yang mengajakmu dalam kebaikan, rajin membaca
Qur’an, rajin beribadah, rajin berpuasa tak hanya saat bulan Ramadhan.
Namun tak hanya itu saja. Kepribadian seseorang pun harus menjadi suatu
pertimbangan dalam menjalin persahabatan.
Kualami namun kuhiraukan, berkali-kali dalam persahabatanku dengan
Nadia mengalami rintangan. Entah mungkin karena sudah terbiasa, atau aku
tidak sadar, kelemahan dalam dirinya, yaitu Ghibah. Ya, menceritakan
keburukan orang lain.
Kutinggalkan dia karena dia dunia jilbab. Aku tak menyadarinya, sampai suatu saat, ku ketahui Nadia
menceritakan keburukanku kepada orang lain. Tak hanya sekali, ku ketahui
itu dua kali. Awal pertemuanku dengannya, ia sempat salah kirim SMS,
menceritakan keburukanku kepada orang lain. Dengan ijin Allah, Nadia
salah mengirimkan SMS itu justru kepadaku.
Ia pun meminta maaf, dan ku maafkan dirinya. Wajar, baru perkenalan, mungkin belum paham satu sama lain. Namun kali kedua, ku ketahui ia menceritakan keburukanku lagi, aku mengambil sikap tegas. Ucapkan salam perpisahan dengan dirinya, dan tak lupa aku meminta maaf jika ada salah sikap dan ucapku padanya sehingga membuat ia terus-terusan ghibah mengenai diriku.
Ia pun meminta maaf, dan ku maafkan dirinya. Wajar, baru perkenalan, mungkin belum paham satu sama lain. Namun kali kedua, ku ketahui ia menceritakan keburukanku lagi, aku mengambil sikap tegas. Ucapkan salam perpisahan dengan dirinya, dan tak lupa aku meminta maaf jika ada salah sikap dan ucapku padanya sehingga membuat ia terus-terusan ghibah mengenai diriku.
Sakit rasanya, aku mempercayai seseorang yang ternyata tidak pantas
aku percayai. Aku bertanya pada diriku, apakah selama bersahabat
dengannya aku pun turut ‘ketularan’ penyakit ghibah ini. Ya Allah, aku
takut sekali jika ucapanku di masa lalu secara tidak langsung ikut
mencerca atau membicarakan keburukan orang lain. Dari titik itu aku
mulai sadar, “jodoh” ku dengan Nadia sampai disini saja. Kami dipertemukan untuk suatu makna.
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa temannya” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Sampai saat ini aku merenung, apa makna yang bisa aku ambil selama
aku bersahabat dengan Nadia. Apa hikmahnya? Mungkin ia sahabat yang
baik, tapi bukan untukku, untuk yang lain. Selama ini aku melihat
seseorang muslim yang taat beribadah memiliki nilai lebih, namun akhlak
tak kalah penting, bagaimana ia bersikap terhadap orang lain.
Maka dari itu kawan, mari kita renungi diri? Apakah kita sudah
menjadi muslim yang baik? Menjadi muslim yang baik tak hanya dinilai
dari rajinnya sholat kita, seringnya kita membaca Quran, ataupun
menjalankan puasa dan zakat secara rutin. Namun juga bersikap dan
bertutur baik kepada (ataupun mengenai) orang.
klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar