Selasa, 18 April 2017

Rasulullah dan Uang Delapan Dirham

       Rasulullah pagi itu sibuk memperhatikan bajunya dengan cermat. baju satu-satunya dan itupun ternyata sudah usang. baju yang setia menutup aurat beliau. meringankan tubuh beliau dari terik matahari dan dinginnya udara. Baju yang tidak pernah beristirahat.
        Tetapi beliau tak mempunyai uang sepeser pun. Dengan apa beliau harus membeli baju? Padahal baju yang ada sudah waktunya diganti. Rasulullah sebenarnya dapat saja menjadi kaya mendadak, bahkan terkaya di dunia ini. Tapi sayang, beliau tak mau mempergunakan kemudahan itu. Jika beliau mau, Allah dalam sekejap bisa mengubah gunung dan pasir menjadi butir-butir emas yang berharga. Beliau tak sudi berbuat demikian karena kasihnya kepada para fakir yang papa. siapakah yang akan menjadi teladan jika bukan beliau? Contoh untuk menahan derita, menahan lapar dan dahaga, menahan segala coba dan uji Allah dengan kesabaran. Selalu mensyukuri nikmat Allah berapa pun besarnya. Siapa lagi kalau bukan beliau yang menyertai umatnya dalam menjalani iradat yang telah ditentukan Allah. Yaitu kehidupan dalam jurang kedukaan dan kemiskinan. Siapa pula yang harus menghibur mereka agar selalu bersabar dan rela dengan yang ada selain beliau? Juga siapa pula yang harus menanamkan keyakinan akan pahala Allah kelak di akhirat jika bukan beliau?


       Ya, hanya beliaulah yang mampu menjalankan berbagai hal diatas. benar,…baliaulah satu-satunya manusia yang mendapatkan amanat dari Allah untuk semua umat manusia. Tugas yang lebih murni dan mulia daripada intan berlian serta butiran emas yang lain. Lebih halus dari sutera serta lebih indah dari segala keindahan yang dikenal manusia di dunia ini. lebih megah dari segala kedudukan dan derajad kehidupan manusia yang katanya sudah megah.
“Semua itu hanyalah merupakan kesenangan dunia sedang di sisi Allah yang paling baik dan sebaik-baik tempat kembali”.
        Perjuangan itu tidak mudah. bahkan sangat berat bagi beliau. Menegakkan yang hak hanya dapat dicapai dengan penuh keimanan dan kekuatan. sabar dalam menghadapi setiap malapetaka yang menimpa, bersyukur yang dilakukan dengan hati bersih. dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam duka maupun suka, bersyukur dan keimanan harus selalu menyertai. Itulah pokok risalah yang dibawa Rasulullah saw.
     Allah Maha Bijaksana, tidak akan membiarkan hamba-Nya terkasih kebingungan. Rasulullah diberinya rezeki sebanyak delapan dirham. Bergegas beliau melangkah ke pasar. Tentunya kita maklum. uang sekian itu dapat dibelikan apa. Apakah cukup untuk membeli makan, minum, serta pakaian penutup badan? Oleh sebab itu, bergembiralah hai para fakir dan miskin! Nabi kita, Muhammad saw telah memberikan contoh begitu jelas. Nabi yang kita cintai, hamba kesayangan Allah pergi ke pasar dengan uang sedikit seperti yang kita miliki. Tetapi nabi kita ini, hamba Allah yang di bumi bernama Ahmad, sedang dari langit bernama Muhammad dengan ridha pergi ke pasar berbekal uang delapan dirham untuk berbelanja. Manusia penuh nur dan inayah Allah yang dilahirkan di makkah. meskipun beliau miskin, beliau senang sekali hidup. beliau belum ingin mati meski kemiskinan menjerat setiap hari.
      Di tengah perjalanan menuju pasar, beliau menemukan seorang wanita yang menangis. Ternyata wanita yang kehilangan uang. Segera beliau memberikan uangnya sebanyak dua dirham. Beliau berhenti sejenak untuk menenangkan wanita itu.
      Rasulullah bergegas menuju ke pasar yang semakin ramai. Sepanjang lorong pasar banyak sekali masyarakat yang menegur beliau dengan hormat. Selalu menjawab dan memberikan salam yang mengingatkan akan kebesaran Allah semata. Beliau langsung menuju tempat di mana ada barang yang diperlukannya. Dibelinya sepasang baju dengan harga empat dirham. beliau segera pulang. Di perjalanan beliau bertemu dengan seorang tua yang telanjang. Orang tersebut dengan iba memohon sepotong baju untuk dipakainya. Rasulullah yang memang pengasih itu tidak tahan melihat. Langsung diberikannya baju yang baru dibeli. Beliau kembali ke pasar utnuk membeli baju lagi seharga dua dirham. Tentu saja lebih kasar dan jelek kualitasnya daripada yang empat dirham. dengan gembira beliau pulang membawa bajunya.
      Langkahnya dipercepat karena sengatan matahari yang semakin terik. Juga angin malam yang telah mulai berhembus pelan-pelan. Beliau tidak ingin kemalaman di jalan. Tak lama beliau melangkah ke luar pasar, ditemuinya lagi wanita yang menangis tadi. Wanita itu kelihatan bingung dan sangat gelisah. Rasulullah saw mendekat dan bertanya mengapa. Wanita itu ternyata ketakutan untuk pulang. Dia telah terlambat dari batas waktu, dan takut dimarahi majikannya jika pulang nanti. Rasulullah saw langsung menyatakan akan mengantarkannya.
      Wanita itu berjalan yang diikuti Rasulullah saw dari belakang. Hatinya tenang karena Rasulullah saw pasti akan melindungi dirinya. Dia yakin majikannya akan memaafkan, karena kepulangan yang diantarkan oleh manusia paling mulia di dunia ini. Bahkan mungkin akan berterima kasih karena pulang membawa kebaikan bersama dengan kedatangan nabi dan rasul mereka. Mereka terus berjalan hingga sampai ke perkampungan kaum Anshari. Kebetulan saat itu yang ada hanyalah para isteri mereka.
    “Assalamu’alaikum warahmatullah”, sapa Rasulullah saw keras. Mereka semuanya diam tak menjawab. Padahal mereka mendengar. Hati mereka diliputi kebahagiaan karena kedatangan Nabi. Mereka menganggap salam Rasulullah saw sebagai berkah dan seperti lebaran saja. Mereka masih ingin mendengarnya lagi. Ketika tak terdengar jawaban, Rasulullah saw memberi salam lagi. Tetap tak terdengar jawaban. Rasulullah saw mengulang untuk yang ketiga kali dengan suara lantang, Assalamu’alaikum warahmatullah. Serentak mereka menjawab.
     Rasulullah sangat heran dengan semua itu. Beliau menanyakan pada mereka apa sebabnya. Mereka mengatakan, ” Tidak ya Rasulullah. Kami sudah mendengar sejak tadi. Kami memang sengaja, kami ingin mendapatkan salam lebih banyak”. Rasulullah melanjutkan, “Pembantumu ini terlambat pulang dan tidak berani pulang sendirian. Sekiranya dia harus menerima hukuman, akulah yang akan menerimanya”. Ucapan ini sangat mengejutkan mereka. Kasih sayang Nabi begitu murni, budi pekerti yang utama, yang indah tampak dihadapan mereka. Beliau menempuh perjalanan begitu panjang dan jauh hanya untuk mengantarkan seorang budak yang takut dimarahi majikannya. Lagipula hanya karena terlambat pulang. Bahkan memohonkan maaf baginya pula. Sehingga karena harunya, mereka berkata, “Kami memaafkan dan bahkan membebaskannya. Kedatangannya kemari bersama anda karena untuk mengharap ridha Allah semata”. Budak itu tak terhingga rasa terima kasihnya. Bersyukur atas karunia Allah swt dan kebebasannya karena dari Rasulullah saw.
      Rasulullah saw pulang dengan hati gembira. Telah bebas satu perbudakan dengan mengharap ridha Allah swt sepenuhnya. Beliau juga tak lupa mendoakan para wanita itu agar mendapatkan berkah dari Allah swt. Semoga semua harta dan turunan serta semoga selalu tetap dalam keadaan iman dan islam. Beliau sibuk memikirkan peristiwa sehari tadi. Hari yang penuh berkah dan karunia Allah swt semata. Akhirnya beliau berujar dengan, “Belum pernah kutemui berkah angka delapan sebagaimana hari ini. Delapan dirham yang mampu mengamankan seseorang dari ketakutan, dua orang yang membutuhkan serta memerdekakan seorang budak”. Bagi seseorang muslim yang memberikan pakaian pada saudara sesama muslim, Allah akan memelihara selama pakaian itu masih melekat.

 https://dongengkakrico.wordpress.com/kisah/kisah-teladan-islam-rasulullah-dan-uang-delapan-dirham/

Seorang Yahudi yang Merindukan Rasulullah SAW.

SEORANG YAHUDI YANG MERINDUKAN RASULULLAH MUHAMMAD SAW

Hari Sabat, adalah hari besar dimana para pengikuti ajaran Nabi Musa AS (pada masa Nabi SAW dikenal sebagai kaum Yahudi) dilarang melakukan aktivitas apapun kecuali untuk beribadah, berdzikir atau mempelajari kitab Taurat.

Suatu ketika, seorang lelaki Yahudi yang tinggal di Syam mengisi hari sabatnya untuk mempelajari kitab Taurat. Ia menemukan dalam Taurat tersebut ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat dan keadaan Nabi Muhammad SAW, nabi yang diramalkan akan turun sebagai penutup para Nabi-nabi, sebanyak empat halaman. Ia segera memotong empat halaman Taurat tersebut dan membakarnya.

Saat itu memang Nabi SAW telah diutus dan telah tinggal di Madinah. Sementara itu, beberapa orang pemuka dan pendeta Yahudi melakukan "indoktrinasi" kepada jamaahnya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang pendusta. Jika ditemukan sifat dan cerita tentang dirinya dalam Taurat, mereka harus memotong dan membakarnya karena itu merupakan ayat-ayat tambahan dalam Taurat yang tidak benar. Lelaki Yahudi dari Syam tersebut adalah satu anggota jamaah sekte ini.

Pada hari sabtu berikutnya, ia juga mengisi harinya dengan melakukan kajian terhadap Taurat, dan ia menemukan delapan halaman yang menyebutkan tentang keadaan dan sifat-sifat Nabi SAW. Seperti kejadian sebelumnya, ia memotong delapan halaman tersebut dan membakarnya.

Pada hari sabtu berikutnya lagi, ia masih melakukan kajian terhadap Taurat, dan kali ini ia menemukan hal yang sama, bahkan ditambah dengan cerita tentang beberapa orang sahabat di sekitar beliau, dan ia menemukannya dalam 12 halaman. Kali ini ia tidak langsung memotongnya, tetapi ia berfikir dan berkata dalam hatinya, "Jika aku selalu memotong bagian seperti ini, bisa-bisa Taurat ini seluruhnya akan menyebutkan tentang sifat sifat dan keadaan Muhammad!".

Tentunya kita tidak tahu pasti, apakah memang kandungan Taurat seperti itu? Atau memang Allah SWT telah menggiring lelaki Yahudi kepada hidayah-Nya, sehingga setiap kali dipotong, akan muncul secara ajaib (mu'jizat) pada halaman lainnya, lebih banyak dan lebih lengkap tentang keadaan Nabi Muhammad SAW.

Tetapi, tiga kali pengalaman kajiannya tersebut telah memunculkan rasa penasaran dan keingin-tahuannya yang besar kepada Nabi SAW. Bahkan dengan tiga kali kajiannya tersebut, seakan-akan sifat-sifat dan keadaan beliau telah lekat di kepalanya, dan seperti mengenal beliau sangat akrab.

Ia datang kepada kawan-kawan Yahudinya dan berkata, "Siapakah Muhammad ini?"
"Ia seorang pembohong besar (yg tinggal di Madinah)," Kata salah seorang temannya, "Lebih baik engkau tidak melihatnya, dan dia tidak perlu melihat engkau!".

Tetapi lelaki Yahudi yang telah "melihat" dengan "ilmu yakin" tentang keadaan Nabi SAW ini, tampaknya tidak mudah begitu saja dipengaruhi teman-temannya. Seakan ada kerinduan menggumpal kepada sosok Muhammad yang belum pernah dikenal dan ditemuinya itu. Kerinduan yang memunculkan kegelisahan, yang tidak akan bisa hilang kecuali bertemu langsung dengan sosok imajinasi dalam pikirannya tersebut. Ia berkata dengan tegas, "Demi kebenaran Taurat Musa, janganlah kalian menghalangi aku untuk mengunjungi Muhammad!".

Dengan tekad yang begitu kuatnya, teman-temannya itu tak mampu lagi menghalangi langkahnya untuk bertemu dengan Nabi SAW di Madinah. Lelaki Yahudi ini mempersiapkan kendaraan dan perbekalannya dan langsung memacunya mengarungi padang pasir tanpa menunda-nundanya lagi. Beberapa hari berjalan, siang dan malam terus saja berjalan, hingga akhirnya ia memasuki kota Madinah.

Orang pertama yang bertemu dengannya adalah Sahabat Salman al Farisi. Karena Salman berwajah tampan, dan mirip gambaran yang diperolehnya dalam Taurat, ia berkata, "Apakah engkau Muhammad?".

Salman tidak segera menjawab, bahkan segera saja ia menangis mendapat pertanyaan tersebut, sehingga membuat lelaki Yahudi ini terheran-heran. Kemudian Salman berkata, "Saya adalah pesuruhnya!".

Memang, hari itu telah tiga hari Nabi SAW wafat dan jenazah beliau baru dimakamkan kemarin malamnya, sehingga pertanyaan seperti itu mengingatkannya kepada beliau dan membuat Salman menangis. Kemudian lelaki Yahudi itu berkata, "Dimanakah Muhammad?".

Salman berfikir cepat, kalau ia berkata jujur bahwa Nabi SAW telah wafat, mungkin lelaki ini akan pulang, tetapi kalau ia berkata masih hidup, maka ia berbohong. Salman-pun berkata, "Marilah aku antar engkau kepada sahabat-sahabat beliau!".

Salman membawa lelaki Yahudi tersebut ke Masjid, di sana para sahabat tengah berkumpul dalam keadaan sedih. Ketika tiba di pintu masjid, lelaki Yahudi ini berseru agak keras, "Assalamu'alaika, ya Muhammad!".

Ia mengira Nabi SAW ada di antara kumpulan para sahabat tersebut, tetapi sekali lagi ia melihat reaksi yang mengherankan. Beberapa orang pecah tangisnya, beberapa lainnya makin sesenggukan dan kesedihan makin meliputi wajah-wajah mereka. Salah seorang sahabat berkata, "Wahai orang asing, siapakah engkau ini? Sungguh engkau telah memperbaharui luka hati kami! Apakah kamu belum tahu bahwa beliau telah wafat tiga hari yang lalu?".

Seketika lelaki Yahudi tersebut berteriak penuh kesedihan, "Betapa sedih hatiku, betapa sia-sia perjalananku! Aduhai, andai saja ibuku tidak pernah melahirkan aku, andai saja aku tidak pernah membaca Taurat dan mengkajinya, andai saja dalam membaca dan mengkaji Taurat aku tidak pernah menemukan ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat dan keadaannya, andai saja aku bertemu dengannya setelah aku menemukan ayat-ayat Taurat tersebut….(tentu tidak akan sesedih ini keadaanku)!".

Lelaki Yahudi tersebut menangis tersedu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Seakan teringat sesuatu, tiba-tiba ia berkata, "Apakah Ali berada di sini, sehingga ia bisa menyebutkan sifat-sifatnya kepadaku!".

"Ada," Kata Ali bin Abi Thalib sambil mendekat kepada lelaki Yahudi tersebut.
"Aku menemukan namamu dalam kitab Taurat bersama Muhammad. Tolong engkau ceritakan padaku ciri- ciri beliau!".

Ali bin Abi Thalib berkata, "Rasulullah SAW itu tidak tinggi dan tidak pendek, kepalanya bulat, dahinya lebar, kedua matanya tajam, kedua alisnya tebal. Bila beliau tertawa, keluar cahaya dari sela-sela giginya, dadanya berbulu, telapak tangannya berisi, telapak kakinya cekung, lebar langkahnya, dan di antara dua belikat beliau ada tanda khatamun nubuwwah!".

"Engkau benar, wahai Ali," Kata lelaki Yahudi tersebut, "Seperti itulah ciri-ciri Nabi Muhammad yang disebutkan dalam Kitab Taurat. Apakah masih ada sisa baju beliau sehingga aku bisa menciumnya?".

"Masih!" Kata Ali, kemudian ia meminta tolong kepada Salman untuk mengambil jubah Rasulullah SAW yang disimpan Fathimah az Zahrah, istrinya dan putri kesayangan Nabi SAW.

Salman segera bangkit menuju tempat kediaman Fathimah. Di depan pintu rumahnya, ia mendengar tangisan Hasan dan Husain, cucu kecintaan Rasulullah SAW. Sambil mengetuk pintu, Salman berkata, "Wahai tempat kebanggaan para nabi, wahai tempat hiasan para wali!".

"Siapakah yang mengetuk pintu orang yatim!" Fathimah menyahut dari dalam...
"Saya, Salman…" Kata Salman, kemudian ia menyebutkan maksud kedatangannya sesuai yang dipesankan oleh Ali.

"Siapakah yang akan memakai jubah ayahku?" Kata Fathimah sambil menangis.

Salman menceritakan peristiwa berkaitan dengan lelaki Yahudi tersebut, lalu Fathimah mengeluarkan jubah Rasulullah SAW, yang terdapat tujuh tambalan dengan tali serat kurma, dan menyerahkannya kepada Salman, yang langsung membawanya ke masjid. Setelah menerima jubah tersebut dari Salman, Ali menciumnya diiringi haru dan tangis, hingga sembab matanya. Jubah Rasulullah SAW tersebut beredar dari satu sahabat ke sahabat lainnya yang hadir, mereka menciumnya dan banyak yang menangis karena haru dan rindu kepada Nabi SAW, dan terakhir jatuh ke tangan lelaki Yahudi tersebut...

Lelaki Yahudi ini mencium dan mendekap erat jubah Nabi SAW dan berkata, "Betapa harumnya jubah ini!".

Dengan tetap mendekap jubah tersebut, lelaki Yahudi ini mendekat ke makam Rasulullah SAW, kemudian menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata, "Wahai Tuhanku, saya bersaksi bahwa Engkau adalah Dzat yang Esa, Tunggal dan tempat bergantung (Ash Shomad). Dan saya bersaksi bahwa orang yang berada di kubur ini adalah Rasul-Mu dan kekasih-Mu. Saya membenarkan segala apa yang ia ajarkan! Wahai Allah, jika Engkau menerima keislamanku, maka cabutlah nyawaku sekarang juga!".

Tak lama kemudian lelaki Yahudi tersebut terkulai jatuh dan meninggal dunia. Ali dan para sahabat lainnya ikut terharu dan sedih melihat keadaan si Yahudi tersebut. Mereka segera memandikan dan mengurus jenazah lelaki Yahudi, yang telah menjadi muslim tersebut, dan memakamkannya di Baqi'.

Lelaki Yahudi ini bukanlah termasuk sahabat Nabi SAW, bahkan dalam keislamannya tersebut belum satupun shalat atau kefardhuan lain yang dilakukannya, tetapi kecintaan dan kerinduannya kepada Nabi SAW membuatnya pantas kalau ia dimakamkan di Baqi' disandingkan dengan para sahabat beliau lainnya.

http://bicarasantai2011.blogspot.co.id/2015/06/seorang-yahudi-yang-merindukan.html

Kisah Inspiratif Hijrah




Aku dan (Mantan) Sahabatku


          Baru ku sadari, bahwa jodoh tak hanya dalam mencari pasangan hidup, namun juga dalam mencari sahabat. Walau bukan berasal dari keluarga kaya raya dan mewah, keluargaku dapat dibilang cukup mapan, tak pernah ku bedakan dengan siapa aku berkawan. Bukan dari rupanya, bukan dari hartanya, pun bukan dari asal-usul keluarganya.
          Bertahun-tahun aku memupuk jalinan persahabatan dengan kawanku, sebut saja Nadia. Seseorang yang kutemui pada awal perkuliahan, hingga terjalin persahabatan 6 tahun lamanya, kini kami telah lulus dan bekerja.
          Sahabat baik, sahabat yang mengajakmu dalam kebaikan, rajin membaca Qur’an, rajin beribadah, rajin berpuasa tak hanya saat bulan Ramadhan. Namun tak hanya itu saja. Kepribadian seseorang pun harus menjadi suatu pertimbangan dalam menjalin persahabatan.
Kualami namun kuhiraukan, berkali-kali dalam persahabatanku dengan Nadia mengalami rintangan. Entah mungkin karena sudah terbiasa, atau aku tidak sadar, kelemahan dalam dirinya, yaitu Ghibah. Ya, menceritakan keburukan orang lain.

           Kutinggalkan dia karena dia dunia jilbab. Aku tak menyadarinya, sampai suatu saat, ku ketahui Nadia menceritakan keburukanku kepada orang lain. Tak hanya sekali, ku ketahui itu dua kali. Awal pertemuanku dengannya, ia sempat salah kirim SMS, menceritakan keburukanku kepada orang lain. Dengan ijin Allah, Nadia salah mengirimkan SMS itu justru kepadaku.
           Ia pun meminta maaf, dan ku maafkan dirinya. Wajar, baru perkenalan, mungkin belum paham satu sama lain. Namun kali kedua, ku ketahui ia menceritakan keburukanku lagi, aku mengambil sikap tegas. Ucapkan salam perpisahan dengan dirinya, dan tak lupa aku meminta maaf jika ada salah sikap dan ucapku padanya sehingga membuat ia terus-terusan ghibah mengenai diriku.
Sakit rasanya, aku mempercayai seseorang yang ternyata tidak pantas aku percayai. Aku bertanya pada diriku, apakah selama bersahabat dengannya aku pun turut ‘ketularan’ penyakit ghibah ini. Ya Allah, aku takut sekali jika ucapanku di masa lalu secara tidak langsung ikut mencerca atau membicarakan keburukan orang lain. Dari titik itu aku mulai sadar, “jodoh” ku dengan Nadia sampai disini saja. Kami dipertemukan untuk suatu makna.
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa temannya” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
          Sampai saat ini aku merenung, apa makna yang bisa aku ambil selama aku bersahabat dengan Nadia. Apa hikmahnya? Mungkin ia sahabat yang baik, tapi bukan untukku, untuk yang lain. Selama ini aku melihat seseorang muslim yang taat beribadah memiliki nilai lebih, namun akhlak tak kalah penting, bagaimana ia bersikap terhadap orang lain.
Maka dari itu kawan, mari kita renungi diri? Apakah kita sudah menjadi muslim yang baik? Menjadi muslim yang baik tak hanya dinilai dari rajinnya sholat kita, seringnya kita membaca Quran, ataupun menjalankan puasa dan zakat secara rutin. Namun juga bersikap dan bertutur baik kepada (ataupun mengenai) orang.